Tragedi
Gunung Merapi
Gunung Merapi
merupakan gunung berapi yang terletak di bagian tengah pulau Jawa yang masuk
kedalam wilayah Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten dan merupakan
salah satu gunung teraktif di Indonesia. Sejak lahir saya tinggal di kota kecil
Magelang yang letaknya tidak jauh dari Gunung Merapi. Sehingga saya sering
berkunjung ke tempat wisata di Gunung Merapi seperti Gardu Pandang Ketep Pass
dan Kaliurang.
Gunung termuda dalam rangkaian gunung
berapi di daerah selatan ini selalu menunjukkan altivitas vulkanik yang terjadi
setiap 2 sampai 5 tahun sekali. Menurut ahli geologi yang melakukan penelitian,
gunung Merapi menunjukkan aktivitas vulkaniknya pertama kali pada tahun 1006
dengan ledakan yang sangat dahsyat sehingga membuat daerah di sekitarnya
tertutup oleh abu vulkanik yang sangat tebal. Hal ini menyebabkan pusat
kerajaan Mataram Kuno berpindah ke daerah Jawa Timur. Setelah letusan tersebut,
tercatat letusan dahsyat yang berdampak besar terjadi pada tahun 1786, 1822, 1872,
dan 1930.
Pengalaman
pertama saya saat mengalami letusan dahsyat Gunung Merapi masih teringat dalam
benak saya sampai saat ini. Kejadian itu terjadi pada tahun 2010 tepatnya pada
tanggal 26 bulan Oktober yang menimbulkan rasa takut dan cemas saat itu. Pada sore
hari, gunung Merapi meningkatkan aktivitas vulkanik dengan tanda-tanda gempa
ringan yang kemudian disusul dengan keluarnya awan panas yang sangat tebal yang
orang-orang menyebutnya wedus gembel.
Awan panas pertama yang muncul pada pukul 17.02 WIB mengarah ke barat.
Namun awan panas yang berikutnya tidak dapat terpantau dengan baik karena
kondisi cuaca di puncak Merapi cukup gelap dan hujan. Saat itu abu vulkanik yang berasal
dari Gunung Merapi menutupi seluruh daerah di Magelang dan Yogyakarta bahkan
sampai daerah lain seperti di Kabupaten Wonosobo, Purworejo, Kulonprogo, Kebumen, Temanggung, bahkan pada
siang harinya hujan abu vulkanik pekat melanda hingga Purwokerto dan
Cilacap, Tasikmalaya, Bandung, dan Bogor. Kurang lebih 5-15 cm abu vulkanik
menutupi halaman rumah saya . Masih untung rumah saya agak jauh dengan puncak
gunungnya, pemukiman di sekitar lereng Gunung Merapi hangus terkena awan panas,
banyak penduduk yang meninggal, vegetasi pegunungan yang sebelumnya terlihat
hijau saat itu berubah menjadi tumpukan-tumpukan abu hitam yang sangat tebal. Sehingga
penduduk yang selamat diungsikan di daerah-daerah yang terhindar jauh dari awan
panas.
Pada tanggal 27 dan 28 Oktober setelah
terjadinya puncak aktivitas erupsi, terjadi muntahan awan panas secara
tidak teratur dan lava pijar yang muncul hampir bersamaan dengan keluarnya awan
panas. Pada hari itu semua sekolah diliburkan karena kondisi yang tidak
memungkinkan diluar rumah. Sehingga saya hanya berdiam diri didalam rumah.
Untuk keluar rumah setiap orang harus menggunakan masker untuk menghindari
berbagai penyakit pernafasan karena debu abu vulkanik. Sejak saat itu saya akan
merasa cemas ketika mendengar berita di tv mengenai peningkatan aktivitas
Gunung Merapi.